Surat dari RIO
Assalamualaikum
nama saya rio, seekor ayam jantan yang bersemangat menghadapi hidup di duna
yang kejam ini. banyak dari bangsaku mati disembelih oleh manusia yang
kelaparan. Bagi kami itu merupakan hal “biasa” yang setiap dari kami pasti akan
menghadapinya. Tak banyak dari kami yang berhasil lulus dari seleksi maut ini. Bisa
dikatakan tak ada satupun dari kami yang merasakan mati secara “damai” tanpa
harus merasakan tajamnya pisau yang merengkuh leher kami. Dan bagiku kapanpun
itu, aku sebagai ayam jantan gagah sudah siap menghadapinya.
Namun sebenarnya
bukan kematian yang kutakuti. Tetapi bagaimana cara aku mati nanti. Teman satu
kandangku Robert, harus merelakan dirinya disembelih oleh pemiliknya yang
nonmuslim. Tak ada sepatah kata “syahadat” keluar dari lisan sang pemiliknya. Aku
tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi seekor ayam jantan yang harus
menghadapi kematiannya tanpa ada bekal apapun untuk menghadap Sang Rabb Yang Menciptanya.
Bagaimana denganku nantinya ya?, apakah aku akan bernasib sama dengan temanku
itu?.
Hal itulah
yang membuatku bertekad untuk berhijrah ke pulau ini, Sumbawa. Tak banyak yang
ku baca dari media massa soal pulau “sejuta wisata hala”l tersebut, walalupun
aku sendiri sebenarnya tak bisa membaca. Akan tetapi, satu hal yang ku tahu aku
berharap bisa menemukan kata “syahadat” di bulan Ramadhan. Sebuah “tiket
perjalanan” menuju Sang Penciptaku. Pulau yang tak hanya terkenal dengan
keramah-tamahan penduduknya, tetapi juga tak kalah dengan berbagai wisatanya
yang menarik berlabel halal kelas dunia.
Aku tak perlu
jauh-jauh ke negeri Jiran Malaysia atau Uni Emirat Arab hanya untuk mencari ramadhan
halal di sana, karena aku tahu aku bisa dengan mudah dihalalkan di pulau ini.
aku mungkin bukan seekor ayam ekspor walaupun aku ayam negeri, akan tetapi
bagiku menikmati ramadhan di negeri
sendiri menjadi kebanggaan tersendiri bagi seekor ayam jantan sepertiku ini. Aku
tak sabar untuk membayangkan diriku nanti disejajarkan dengan berbagai hewan lain
yang akan senasib denganku, sembari berdiam di kandang ku lihat wajah mereka bersimbah
darah tak bernyawa sambil tersenyum tanda bahwa mereka telah halal berlabel
syahadat.
Ku kembali
mengingat perjalananku selama di Sumbawa, pantai indah nan elok dengan sinar
matahari menyinari pasir-pasirnya yang putih cemerlang seperti berlian
terhampar. Tak jarang juga ku lihat mesjid dan musalla sepanjang perjalananku. Bahkan
aku tak menyangka akan melewati rumah-rumah makan bertutupkan terpl dan kain
selama Ramadhan. Menjadikannya pengalaman batin buatku yang menenangkanku. Beberapa
kali ku curi-curi dengar dari pak supir tatkala beristirahat dari panjangnya
perjalanan tentang Sumbawa dan Lombok yang begitu banyak wisata halalnya, namun
bukan berarti turis nonmuslim tidak boleh menikmatinya. Semua boleh masuk,
asalkan tetap mematuhi aturan yang berlaku. Begitu indahnya islam menurutku.
Tak terasa aku
sudah sampai di tempat ini, tempat akhir dari perjalananku sebagai seekor ayam
jantan. Aku tahu kematian akan menimpa siapapun dan kapanpun, itu tidak masalah.
Yang dipermasalahkan adalah bagaimana ia mati dan apa yang ia ucapkan. Di negeri
wisata halal ini ku memilih, dengan ucapan syahadat dari sang penjagal aku
menghadapi ajal dengan tenang. Mungkin setelah engkau membaca surat ini aku
telah tiada. Tapi yang pasti aku akan menjadi halal di takjilmu wahai manusia. Sampai
jumpa di meja makan!.
Komentar
Posting Komentar
Semua orang bebas berpendapat tambahkan pendapat anda di sini