Seputar Idul Fitri


Mengapa mudik menjelang Idul Fitri selalu memunculkan masalah?. Kemeriahan Lebaran kerap tenggelam oleh kehebohan problem mudik. Lebaran sebagai simbol capaian kemenangan spiritual berubah menjadi kelelahan fisik karena mudik dilakukan dengan ketidaknyamanan. Begitu pentingkah mudik menjelang Lebaran, padahal pulang kampung dapat dilakukan kapan saja? Jangan-jangan, mudik sekadar kamuflase dan Lebaran sebagai momentum apologianya. Betulkah mudik berakar pada tradisi budaya masyarakat kita?                         Mudik secara etimologis bermakna berlayar ke udik atau pergi ke hulu sungai. Kini, mengapa mudik dimaknai pulang kampung atau pergi ke kampung halaman? Dalam Ensiklopedia Indonesia (Mulia dan Hidding 1957), entri mudik tak terdapat di sana. Kata itu dianggap tidak penting dan pada saat itu mudik belum menjadi fenomena sosial.                                                                                Sebelum tahun 1970-an, kata mudik belum dimaknai sebagai pulang ke kampung halaman. Bahkan, mudik tidak ada kaitannya dengan Lebaran. Ketika itu, mudik dan Lebaran adalah dua peristiwa yang tidak ada hubungannya.                         Fenomena mudik yang lalu dikaitkan dengan Lebaran terjadi awal pertengahan 1970-an ketika Jakarta tampil sebagai kota besar satu-satunya di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) berhasil disulap menjadi kota metropolitan. Sistem pemerintahan sentralistik yang diterapkan penguasa Orde Baru memperoleh legitimasi sosiologis ketika Jakarta kemajuannya melesat dibandingkan dengan kota lain di Tanah Air.                                                                        Seketika itu juga Jakarta menjelma menjadi kota impian. Di sana, dalam pandangan orang desa (udik), uang mudah didapat. Bekerja sebagai apa pun tidak menjadi soal. Maka, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang udik yang di kampung tak beruntung.                                                                                                        Pulang kampung sebenarnya kamuflase dari semangat memperoleh legitimasi sosial dan menunjukkan eksistensinya. Itulah awal mula mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai akar budaya. Jadi, sesungguhnya tradisi mudik (dari Jakarta ke udik) lebih disebabkan oleh problem sosial akibat perbedaan mencolok kemajuan Jakarta dari kota-kota lain. Tengok saja, sebagian besar pemudik adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang ingin pamer kepada masyarakat udiknya, seolah-olah mereka telah mencapai sukses.            Begitulah, mudik Lebaran sesungguhnya tidak punya akar budaya, tetapi lebih disebabkan oleh problem sosial akibat sistem pemerintahan yang sentralistik dengan Jakarta sebagai pusat segalanya.

Komentar

Postingan Populer